KEBAHAGIAANMU ADALAH MIMPIKU, AYAHKU

Minggu, 03 Januari 2010

Anak laki laki umumnya bermain bola sepak bersama di lapangan depan rumahku. Dan aku hanya dapat melihat mereka di kamar ini, menyaksikan canda tawa mereka tanpa masuk ke dalam ruang lingkup mereka. Ya, aku menyadari itu. Tubuhku yang cacat lah yang menghalangiku untuk bermain bersama anak normal lainnya. Kaki mereka dapat dengan lincah berlari kesana kemari, aku hanya dapat duduk di kursi roda ini. Tangan mereka dapat menggenggam sesuatu dengan bebas. Sedangkan aku, untuk mengambil gelas di meja pun tak becus. Ada ketidak sinkron-an antara otak dan gerakan ku. Orangtua ku mengalami kecelakaan saat ibu sedang mengandungku. Hingga terjadi gangguan pada kandungannya.

Orang-orang biasa memanggilku Rio. Ayah seorang diri mengasuhku sejak kecil, hingga umurku yang sekarang telah 14 tahun. Ibu meninggal karena kanker paru-paru nya saat aku berumur dua tahun. Ayah hanya tukang service alat elektronik di kios kecil dekat pasar. Aku bersekolah di Yayasan Putra Harapan, dimana anak-anak cacat lainnya bersekolah. Aku dan ayah hidup sederhana apa adanya.

Tapi ada suatu dendam di hatiku saat melihat orang-orang memandang aku dan ayah dengan sebelah mata. Sakit yang tak pernah terungkapkan oleh bibirku yang tak mampu berbicara selancar orang pada umumnya. Bibirku yang hanya dapat berbicara dengan suara yang tak jelas takkan mampu meneriakkan segala emosi ku untuk mengungkapkan kemarahan ku terhadap orang-orang itu. Batinku menangis di setiap ayah mengurut dada dengan perlakuan orang-orang yang meremehkan keluarga kami.

Di suatu saat terbesit harapan ku untuk mengangkat derajat hidup keluarga. Tapi aku melihat diriku sendiri. Anak cacat, yang tak bisa buang air sendiri. Apakah pantas aku menjadi orang sukses?

Ku ambil sebuah buku gambar di sampingku, dengan cat air yang ayah beli bulan lalu saat aku meminta nya di pasar. Kubuka lembaran buku putih itu dan ku celupkan kuas ke dalam warna cat air . Sekuat tenaga ku seimbangkan gerak tanganku. Perlahan tanganku menggoreskan kuas itu ke lembar putih. Sungguh sulit, disaat aku menggerakkan arah tanganku dengan kemauanku. Goresan-goresan tanganku melangkah lebih lancar. Ayah telah berdiri di depan pintu kamar, menghampiriku. Sedikit terkejut aku dibuatnya. Ayah melihat karyaku. Tersenyum penuh makna, “besok akan ayah belikan alat melukis yang bagus ya nak”.

Keesokan harinya ayah benar membelikan alat –alat lukis untukku. Bagus memang, pasti dengan harga yang tak dapat dibilang murah juga. Aku belajar melukis lebih giat lagi. Hingga ayah mempercayakan karyaku untuk diajukan ke sebuah pameran seni lukis.

Dan disini nasib hidup kami berubah. Para seniman mengacungkan jempol untuk karya seni ku, walaupun aku sama sekali tak mengenal teknik lukis secara formal sebelumnya. Namaku disebut-sebut di banyak surat kabar. Anak keterbelakangan mental dan fisik dapat menciptakan karya seni berselera dunia. Kurang lebih seperti itu ungkapan surat kabar yang menceritakan ku.

Kini aku dapat menunjukkan kepada orang-orang, bahwa aku dapat menaikkan derajat hidup aku dan ayahku, bukan untuk dipandang sebelah mata.

Anda dapat mengambil pelajaran hidup dalam cerita ini, bahwa fisik dan materi tak akan menghalangi keberhasilan seseorang karena tak akan ada yang dapat mengalahkan tekad dan usaha selain Tuhan. Semoga tulisan ini mampu menyemangati kita semua dalam menjalankan hidup, terima kasih.

0 komentar:

Posting Komentar