Sudut Ruangku

Minggu, 03 Januari 2010

Nama ku Sata, aku adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Anak terbengal dalam rumah, itulah anggapan dari kakak-kakak dan orangtuaku. Nilai rapor ku yang miskin poin dan tingkah-tingkah onar ku di sekolah sudah lumrah mereka terima. Sebenarnya aku terusik dengan omongan orangtua yang selalu membanding bandingkan aku dengan kakak-kakak ku. Silla, kakak pertama yang selalu jadi juara kelas. Vino, anak kedua yang terkenal dengan karya tulisnya yang sudah tampil di beberapa novel. Dan aku, anak yang punya otak pas pas-an, ditambah ruang BK yang selalu menjadi tempat favorit untuk aku datangi.

Tapi jauh dari itu semua, Sata dewasa sebenarnya ingin sekali menunjukan kasih sayangnya ke mereka. Hingga akhirnya aku baru disadarkan dengan obat obatan yang sudah merekat di tubuh ku ini, meninggalkan kehancuran untuk semuanya. Awalnya memang gank itu yang membuat aku buta, menganggap hidup dengan mereka lebih membahagiakan dibanding hidup dengan keluarga yang aku anggap selalu banyak aturan dan persaingan antar saudara untuk memikat hati kedua orangtua. Dan sekarang penyesalan itu hanya membusuk di ruang rehab ini .

Aku tahu sekarang, dimana aku butuh keluarga, butuh perlindungan di tengah-tengah kasih orang terdekatku. Disaat nyeri menusuk tulang, sendi sendi yang ngilu tanpa daya, memori ku berputar ke arah lalu. Dimana Sata kecil yang berlari lari di taman kota bersama kakak-kakak yang menggandeng kedua tangannya. Ayah dan bunda yang duduk berdampingan di kursi taman tertawa kecil melihat tingkah kami.

Dinginnya air yang membuta tak henti mengguyur tubuh, semakin mempercepat memori berputar. Dimana aku masih bisa merasakan hangatnya pelukkan bunda sepulang kehujanan dari sekolah, dengan cokelat panas yang diminum bersama kakak-kakak ku di gelas tangkai besar hingga pipi kami terlukis oleh cokelat cair. Kini hanya tubuh meringkuk kedinginan di sudut ruang.

aku rindu suasana itu ..

Tangan menggigil itu meraih alat perekam yang sempat terbawa dari rumah. Suara gemetar memecah kesunyian.

Di dunia yang kelam
Ku temukan kebebasan
Yang kuanggap adalah kebahagiaan
Namun kenyataan berkata beda..
Hidup yang ku dambakan
Kini telah terhapuskan

Sejauh ini ku baru disadarkan

Bahwa aku salah jalan
Kini ku mengerti yang terjadi
Diri ku tak dapat seperti dulu..
Kini hanya mimpi indah
Yang tak akan mungkin dialami..
Ingin aku melangkah maju
Dan tak akan terjatuh lagi..
Ini adalah harapku Tuhan
Ku mohon Kau dapat mendengarnya..

Selang dari beberapa saat kesunyian yang kembali mengisi ruang, “Selamat hari ibu, … Bunda”. Ucapnya lirih. Dengan ragu, tangannya menyodorkan alat rekaman itu ke depan bunda yang datang menjenguk Sata di keesokan harinya . Bertepatan saat hari ibu.

Kadang sebuah kata-kata terlalu sulit diungkapkan secara blak blak-an oleh orang seperti Sata. Tapi di tengah keadaan yang membuatnya terpuruk, ternyata kasih sayang nya sebagai seorang anak mengalahkan itu semua.

Cerita ini hanya sebagai simbol saya untuk memperingati Hari Ibu. Tema nya pun hanya seadanya yang terlintas di pikiran saya. Maaf jika kurang memuaskan, Selamat hari Ibu.

0 komentar:

Posting Komentar